TAFSIRAN ṢIRĀṬ AL-MUSTAQĪM DALAM QS AL-FĀTIḤAH [1]: 6-7 PERSPEKTIF SYI'AH DAN SUNNI (Studi Komparatif Tafsīr Al-Mīzān dan Tafsīr Al-Manār)

Show simple item record

dc.contributor.advisor Sayadi, Wajidi
dc.contributor.advisor Husnaini, Ica Fauziah
dc.contributor.advisor Yuliarto, Udi
dc.contributor.advisor Akbar, Taufik
dc.contributor.author Muchlis, Nuruddin
dc.date.accessioned 2025-08-08T04:05:38Z
dc.date.available 2025-08-08T04:05:38Z
dc.date.issued 2025-07-22
dc.identifier.citation APA (American Psychological Assocition) en_US
dc.identifier.uri https://digilib.iainptk.ac.id/xmlui/handle/123456789/7333
dc.description.abstract NURUDDIN MUCHLIS, 12109035, Tafsiran Ṣirāṭ al-Mustaqīm dalam Q.S. al-Fātiḥah Ayat 6-7 Perspektif Syi’ah dan Sunni (Studi Komparatif Tafsīr al-Mīzān dan Tafsīr al-Manār) Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Adab, Institut Agama Islam Negeri Pontianak. Penelitian ini berangkat dari kesadaran bahwa frasa Ṣirāṭ al-Mustaqīm dalam Surah al-Fātiḥah ayat 6–7 adalah bagian yang sangat fundamental dalam kehidupan umat Islam. Ayat ini tidak hanya menjadi doa harian, tetapi juga menyimpan makna mendalam tentang arah hidup, hidayah, dan tujuan keberagamaan. Namun, makna Ṣirāṭ al-Mustaqīm sering kali ditafsirkan secara berbeda oleh para mufassir, tergantung pada latar belakang mazhab, metode, dan orientasi ideologis masing-masing. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif-analitis dan pendekatan perbandingan tafsir (Muqāranāt al-Tafsīr). Data primer diperoleh dari dua kitab tafsir besar, yaitu Tafsir al-Mīzān karya Allamah Thabathaba’i (Syiah) dan Tafsir al-Manār karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (Sunni). Penelitian ini juga didukung dengan literatur sekunder berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Thabathaba’i menafsirkan ṣirāṭ al-mustaqīm sebagai jalan yang lurus, bersih dari syirik, kezaliman dan kesesatan, dan hanya bisa ditempuh dengan mengikuti para Imam Ahlulbait. Ia membedakan antara jalan yang mendekatkan dan menjauhkan dari Allah, serta mengaitkan jalan lurus dengan orang-orang yang diberi nikmat, yaitu para Imam. Sementara itu, Abduh memaknai Ṣirāṭ al-Mustaqīm sebagai jalan hidup yang adil, rasional, dan seimbang, Ṣirāṭ al-Mustaqīm berisi ajaran agama yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia menekankan pentingnya akal dan hati dalam mengenali kebenaran, tanpa mengikatnya pada tokoh tertentu. Perbandingan keduanya menunjukkan bahwa latar belakang ideologi dan pemikiran sangat memengaruhi arah tafsir. Thabathaba’i cenderung khusus, sedangkan Abduh lebih umum dan terbuka. Perbedaan ini tidak serta-merta menunjukkan pertentangan, tetapi mencerminkan kekayaan tafsir Al-Qur’an yang dipengaruhi oleh tradisi dan kebutuhan zamannya. en_US
dc.language.iso id en_US
dc.publisher IAIN Pontianak en_US
dc.subject Ṣirāṭ al-Mustaqīm en_US
dc.subject Tafsir al-Mīzān en_US
dc.subject Tafsir al-Manār en_US
dc.subject Perbandingan Tafsir en_US
dc.subject Bias Ideologis en_US
dc.title TAFSIRAN ṢIRĀṬ AL-MUSTAQĪM DALAM QS AL-FĀTIḤAH [1]: 6-7 PERSPEKTIF SYI'AH DAN SUNNI (Studi Komparatif Tafsīr Al-Mīzān dan Tafsīr Al-Manār) en_US
dc.type Skripsi en_US


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search


Advanced Search

Browse

My Account