Abstract:
Syura pada masa Nabi Muhammad mulanya hanya berarti konsultasi dan
tidak mengikat sang pemimpin untuk melakukan hasil konsultasi. Syura dapat
dijadikan landasan bagi sebagian kalangan dalam menjadikannya sebagai padanan
dari pemerintahan demokratis, representatif atau pemerintahan republik, dan
lainnya. Walau demikian, penerimaan atas syura sebagai padanan dari demokrasi
bukan tanpa syarat, namun harus dengan pengecualian bahwa rakyat memahami
islam secara komprehensif.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui penafsiran HAMKA tentang
musyawarah terhadap konteks peperangan, konteks masyarakat, dan konteks
keluarga dalam Tafsir al-Azhar, selanjutnya penafsiran Quraish Shihab tentang
musyawarah terhadap konteks peperangan, konteks masyarakat, dan konteks
keluarga dalam Tafsir al-Misbah, dan terakhir, persamaan dan perbedaan
penafsiran keduanya tentang Musyawarah pada konteks peperangan, konteks
masyarakat, dan konteks keluarga.
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini
terdiri dari sumber primer berupa Azhar dan Tafsir Al-Mis}bah dan sumber sekunder
berupa Mu’jam al-mufahras li Alfa >z al-Qur’an
Berdasarkan analisis yang dilakukan, penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1) HAMKA memberi keterangan bahwa dalam hal urusan agama tidak perlu adanya
musyawarah, namun dalam urusan dunia seperti ekonomi, ternak, bertani, dan
peperangan serta perdamaian seharusnya dimusyawarahkan. 2) Adapun penafsiran
Quraish Shihab terhadap QS. Ali Imran 3: 159, beliau menerangkan salah satu yang
menjadi penekanan pokok ayat ini adalah perintah melakukan musyawarah. Ini
penting, karena petaka yang terjadi di uhud, didahului oleh musyawarah serta
disetujui oleh mayoritas. Kendati demikian, hasilnya sebagaimana telah diketahui,
adalah kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan
bahwa musyawarah tidak perlu diadakan. 3) Persamaan penafsiran antara HAMKA
dan Quraish Shihab mengenai QS. Ali Imran 3: 159, keduanya sama-sama
menerangkan musyawarah itu dalam urusan dunia saja, mereka memberikan contoh
musyawarah yang dilakukan Nabi Muhammad ketika berperang pada peperangan
Uhud. Kemudian dari segi penafsiran, keduanya menafsirkan ayat tersebut terutama
mengenai musyawarah sangat panjang. Sedangkan perbedaan penafsiran di antara
keduanya adalah HAMKA hanya menjelaskan bahwa musyawarah hanya boleh
dilakukan dalam urusan dunia atau sosial kemasyarakatan saja bukan pada urusan
agama. Sedangkan Quraish Shihab menerangkan definisi musyawarah secara jelas
melalui kajian kebahasaan dan intelektualitas yang tinggi.