Abstract:
Perkembangan emas dari dulu hingga kini mengalami berbagai dinamika,
mulai dari harga pasar, peredaran emas, hingga persoalan hukum pada logam mulia
tersebut. Secara hukum Islam, jual beli emas juga mengalami dinamika, ada yang
membolehkan ada juga yang tidak membolehkan. Alasannya cukup beragam, di
antaranya bagi kelompok yang membolehkan adalah karena emas tidak lagi sebagai
alat transaksi kemudian pada kelompok ulama yang tidak membolehkan karena
emas merupakan alat transaksi. Kedua pendapat tersebut secara fundamental telah
membuat dinamika hukum terhadap kebolehan praktik jual beli emas ini. Tidak
sampai di situ, dinamikanya pun berlanjut hingga kini mengingat kondisi saat ini
internet menjadi satu dari sekian poin penting dalam berkehidupan, transaksi emas
ini pun sekarang dengan mudah dilakukan melalui internet, dengan melalui satu
gengaman kita sudah dapat bertransaksi emas.
Kebolehan ini kemudian dikeluarkan oleh DSN-MUI melalui fatwa No.
77/DSN-MUI/V/2010 tentang jual beli emas secara tidak tunai yang dikeluarkan
pada tanggal 3 Juni 2010, DSN-MUI menyatakan bahwa jual beli emas secara tunai
itu boleh (mubah), selama emas tidak jadi alat tukar yang resmi (uang), baik melalui
jual beli biasa maupun jual beli murabahah.
Kebolehan transaksi jual beli emas secara tidak tunai tentu menarik untuk
dikaji pada keilmuan hukum ekonomi syariah, penelitian ini merupakan hukum
normatif dengan menggunakan pendekatan kepustakan yang kemudian bahan
hukum primernya berupa fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010, dan bahan
hukum sekundernya adalah jurnal, buku, dan beberapa dokumen hukum yang
melengkapi penelitian ini.
Penelitian ini bermuara pada empat imam mazhab sepakat bahwa emas
termasuk ke dalam jenis barang ribawi dan dalam jual belinya diisyaratkan tunai.
Kemudian, ulama Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim berpendapat bahwa, emas dan
perak adalah barang (sil’ah) yang dijual dan dibeli seperti barang biasa, dan bukan
lagi tsaman (harga, alat pembayaran, uang). Terakhir, fatwa DSN-MUI tentang jual
beli emas secara tidak tunai dengan ulama mazhab yang membolehkkan jual beli
emas secara tidak tunai, yaitu pendapat Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim dengan
ketentuan emas sudah tidak lagi menjadi alat tukar atau penundaan pelunasan
diperbolehkan dalam konteks pembayaran jasa pembuatannya.