Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sejarah ihya’ al mawat, untuk
mengetahui tinjauan hukum islam terhadap status hak kepemilikan lahan kosong
melalui ihya’ al mawat dan untuk mengetahui bagaimana kepemilikan tanah menurut
UUP Agraria terhadap status hak kepemilikan lahan kosong melalui ihya’ al mawat.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Desa Sungai Rasau Kecamatan Sungai
Pinyuh Kabupaten Mempawah, dengan menetaapkan subjek penelitian meliputi:
masyarakat setempat responden. Data yang dipergunakan adalah data primer yaitu
data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan menggunakan teknik wawancara,
serta data sekunder yang berupa studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan
yaitu analisis kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara induktif.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah Pengaturan kepemilikan hak atas tanah
bagi yang membuka atau menggarap tanah kosong menurut Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria yaitu subyek hukumnya hanya warga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hak milik sesuai dengan pasal 21 UUPA dan
beritikad baik terhadap tanah kosong, obyek hukumnya yaitu tanah kosong yang tidak
pernah di haki sebelumnya, dan syaratnya yang membuka tanah kosong telah
membuka atau menggarap tanah kosong tersebut memjadi produktif selama 20 tahun.
Persamaan konsepsi Hukum Islam dan Hukum Agraria tentang pengelolahan tanah
terlantar yaitu: (a) tentang diterlantarkannya tanah bisa mengakibatkan hapusnya hak
milik atas tanah. (b) dalam perizinan pengelolahan tanah terlantar , dalam Hukum
Islam dan hukum positif izin dari penguasa/pemerintah dalam pengelolahan tanah
terlantar sangat dianjurkan bahkan wajib hukumnya. Dalam hukum Agrarian izin
pengelolahan tanah terlantar merupakan syarat mutrlak, izin akan dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang dan apabila pengelolahan tanah terlantar sesuai dengan
perencanaan pemerintah. Adapun perbedaannya yaitu (a) akibat hukum dari
pengelolahan kepemilikan terhadap tanah terlantar mayoritas ulama, baik Hanafiyah,
Hanabilah, Malikiyah maupun Syafi’iyah mengatakan bahwa pengelolahan tanah
terlantar melahirkan hak milik bagi penggarapnya. (b) sedangakan dalam UUPA
penggarapan tanah terlantar atau membuka lahan terlantar tidak langsung
mendapatkan hak milik atas tanah, namun ketentuan yang harus dilaksanakan.