Abstract:
Latar belakang dari penelitian ini adalah bahwa kegiatan jual beli petasan
telah menjadi sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, Bahkan
pada hari besar keagamaan Islam, seperti hari raya idul fitri, idul adha, malam
pergantian tahun, dan berbagai kegiatan lainnya seperti acara sholawatan, haflatul
imtihan, menyalakan petasan sudah menjadi rutinitas tersendiri, tidak hanya
dilakukan oleh kalangan muda bahkan kalangan orang tua dan anak-anak juga
melakukannya. Padahal konsep petasan itu tidak dikenal dalam ajaran Islam,
tetapi sebagian besar ummat muslim bahkan tokoh-tokoh Islam lainnya justru
menjadikan petasan ini sebagai sarana dalam memeriahkan kegiatan besar
keagamaan Islam, mereka berlandaskan bahwa perayaan petasan tersebut sebagai
bentuk kebanggaan atau kesenangan mereka atas datangnya moment-moment
tertentu. Tetapi pada kenyataannya kegembiraan yang ada dalam pesta petasan
tersebut seringkali meresahkan sebagian masyarakat, bukan saja mengganggu
warga muslim yang ingin menjalankan ibadah dengan tenang dan khusyu’, tetapi
juga warga non muslim yang ingin beristirahat. Terlebih masalah bahaya ledakan
petasan itu seringkali diabaikan. Namun hal itu seolah tidak menyurutkan para
pedagang petasan untuk terus beroperasi, dan bagi para konsumen untuk terus
menyalakan petasan, bahkan himbauan pemerintah pun seolah bukan halangan.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui: (1) Bagaimana pandangan
pelaku tentang hukum jual beli petasan di Pontianak; (2) Bagaimana pandangan
Ulama MUI Kalbar tentang hukum jual beli petasan di Pontianak. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian yuridis empiris. Teknik
pengumpulan data menggunakan data primer melalui observasi, wawancara,
dokumentasi, dan data sekunder yang diperoleh melalui buku, jurnal, artikel dan
dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
Berdasarkan pada analisis yang dilakukan, maka peneliti menyimpulkan
bahwa: 1) MUI Kalbar berpendapat bahwa hukum jual beli petasan tidak
diperbolehkan dikarnakan mengandung tabdzir (pemborosan), dharar (dapat
membahayakan) sebagaimana fatwa MUI tahun 1975 No. 31 Tahun 2000. Dan
keharaman petasan ini adalah haram secara ardhi atau ghairu dzati (haram secara
substansi), tidak haram secara dzati (benda).; 2) Pelaku jual beli petasan
berpendapat bahwa petasan ini hukumnya boleh untuk diperjualbelikan ataupun
dinyalakan, sedangkan yang tidak boleh yang pertama, ketika ada unsur tabdzir
(pemborosan), yakni menggunakan harta secara berlebihan terhadap sesuatu yang
tidak semestinya atas sesuatu yang semestinya, seperti sampai mengabaikan
kewajiban hanya untuk membeli petasan, yang kedua, jika sampai menimbulkan
vmudharat (membahayakan). Sehingga, jika dua illat (penyebab atas haramnya
petasan) tersebut itu tidak ada, maka diperbolehkan.