Abstract:
Perbedaan penafsiran terhadap suatu ayat al-Quran sering
terjadi, terutama pada tema-tema yang bersinggungan dengan ideologi
agama di luar Islam, seperti tema Mesianisme menanti kedatangan
Juru selamat. Teks-teks dalam al-Quran tidak memuat berita
kadatangan Juru Selamat di akhir zaman, berita tersebut hanya
terdapat pada hadis Nabi saja. Berbeda dengan Makārim Syīrāzī,
seorang ulama marja’ taqlīd, dia berpendapat bahwa Al-Quran banyak
memberitakan ayat-ayat tentang mesianisme, yaitu pada ayat-ayat
yang dianggapnya sebagai ayat-ayat raj’ah. Perdebatan ini
memunculkan pertanyaan akademik. Bagaimana ideologi Mesianisme
dalam pemikiran Makārim Syīrāzī? Bagaimana penafsiran Makārim
Syīrāzī terhadap ayat-ayat raj`ah? Bagaimana signifikansi pemikiran
Mesianisme Makārim Syīrāzī dalam revolusi Islam Iran?
Penelitian ini adalah library research dengan pendekatan
sejarah intelektual (Intellectual History). Kerangka teoretis yang
digunakan adalah theology of hope Jurgen Moltman yang dilengkapi
dengan teori Islamic Messianims A. A Sachedena.
Hasil Penelitian ini membuktikan bahwa: pemikiran
Mesianisme Makārim Syīrāzī seperti tampak dalam penafsirannya
atas ayat-ayat raj’ah tidak lepas dari diskursus Mesianisme secara
umum. Pemikirannya tentang karakteristik Imam Mahdi (Mesiah)
sebagai orang suci yang merupakan keturunan Nabi (ahl bayt),
misalnya, sesungguhnya memiliki kemiripan dengan sosok Mesiah
yang digambarkan dalam tradisi Yudeo-Kristiani. Karakteristik
Mesiah dalam tradisi yang disebut terakhir juga mesti merupakan
keturunan Nabi Daud. Begitu juga konsep Keadilan Tuhan tentang
kebangkitan al-Mahdi di akhir zaman memiliki kemiripan dengan
kebangkitan Yesus. Dalam pemikiran Makārim Syīrāzī, Keadilan
Tuhan diyakini bahwa setiap orang yang terzalimi akan memperoleh
keadilan Ilahi melalui proses kebangkitan kembali dimana orang
orang yang menzalimi mereka akan memperoleh balasan dari Tuhan,
sedangkan dalam tradisi Kristiani, keadilan Tuhan itu mewujud dalam
xiii
kebangkitan kembali Yesus sang Juru Selamat untuk menebus dosa
warisan manusia. Tafsir ayat-ayat Raj’ah Makārim Syīrāzī memiliki
kesinambungan historis dengan khazanah tafsir klasik Syiah, dan
dalam waktu yang sama memiliki keterkaitan kuat dengan konteks
zaman ketika tafsir tersebut digagas, di mana konteks sosial politik
Iran yang represif pada era Makārim Syīrāzī menuntut lahirnya corak
penafsiran al-Quran yang mampu membangkitkan semangat umat
untuk melawan status quo yang zalim. Seperti ditegaskan Makārim
Syīrāzī, masa penantian (okultasi) Imam Mahdi tidak boleh dipahami
secara pesimistik (pasif), alih-alih wajib diterjemahhkan secara
optimistik (aktif) melalui upaya mewujudkan pemerintahan Imam
Mahdi. Dengan tegas, ia menyatakan bahwa “Masa penantian (intiẓār)
adalah revolusi yang disertai dengan persiapan berjihad”— al-intiẓār
huwa al-ṡawrah al-maqrūnah bi al-tahayyu’ li al-jihād. Menjelang
revolusi Islam Iran pemikiran Mesianisme yang digagas oleh Makārim
Syīrāzī memiliki signifikansi yang begitu kuat. Gagasannya menjadi
salah satu motor penggerak terpenting bagi perubahan politik. Setelah
revolusi, gagasannya tentang urgensi mendirikan pemerintahan al
Mahdi juga tidak kalah penting dengan terserapnya ide-idenya dalam
konstitusi Republik Islam Iran. Bahkan, ia pun menjadi bagian integral
dari pemerintahan (salah seorang penyusun konstitusi). Namun, sesuai
dengan dinamika zaman, signifikansi pemikiran Makārim Syīrāzī
mengalami penurunan. Masyarakat Iran kontemporer mengalami
defisit kepercayaan terhadap pemerintahan Republik Islam Iran dalam
wujud demontrasi besar-besaran yang menuntut kebebasan
berekspresi dan guggatan atas pemaksaan pemahaman dalam praktek
agama versi pemerintah.